-->

Stop SCHOOL BULLYING wujudkan SCHOOL WELL-BEING.

Posting Komentar
Akhir-akhir ini, hampir setiap hari kita sering disuguhi tontonan kekerasan. Seolah-olah kekerasan telah menjadi bagian dari budaya masyarakat. Tidak terkecuali kekerasan yang terjadi di sekolah atau yang dilakukan oleh pelajar. Pada tahun 2006, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kasus kekerasan pada anak mencapai 25 juta, dengan berbagai macam bentuk, dari yang ringan sampai yang berat.

Tahun 2009 kepolisian mencatat, dari seluruh laporan kasus kekerasan, 30 persen di antaranya dilakukan oleh anak-anak, dan dari 30 persen kekerasan yang dilakukan anak-anak, 48 persen terjadi di lingkungan sekolah dengan motif dan kadar yang bervariasi. [sumber: edukasi.kompas.com] Selanjutnya dipaparkan juga hasil survei yang dilakukan Plan Indonesia di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bogor tentang perilaku kekerasan di sekolah, dengan melibatkan 1.500 siswa SMA dan 75 guru.

Hasil survei menunjukkan bahwa, 67,9 % menganggap terjadi kekerasan di lingkungan sekolah, dalam bentuk kekerasan verbal, psikologis, dan fisik. Kekerasan di lingkungan sekolah umumnya dilakukan oleh teman, kakak kelas, adik kelas, guru, kepala sekolah, dan preman di sekitar sekolah.

Sementara itu, siswa SMA yang mengaku ikut melakukan kekerasan sebanyak 27,9 %, dan yang mengambil sikap diam saat melihat terjadinya kekerasan sebanyak 25,4 %.

Sebagai orang tua dan guru, tentu saja kita miris melihat data-data di atas. Padahal sesungguhnya kasus-kasus kekerasan tersebut hanyalah “puncak gunung es”, masih banyak kasus-kasus kekerasan di sekolah (school bullying) yang luput dari perhatian kita. Entah karena kurang mendapat perhatian, bahkan mungkin tidak dianggap sesuatu hal yang serius.

Bentuk bullying di sekolah dapat berupa fisik, verbal, dan relasional, seperti pemukulan, intimidasi, pengucilan dari teman sekelas. Siswa sebagai korban bullying pada umumnya menjadi malas berangkat sekolah karena merasa takut atau teramcam. Jika perasaan terancam ini berkelanjutan dapat mempengaruhi fokus belajar di kelas. Dan tahap berikutnya bisa menjadi depresi tahap ringan.

Dampak jangka panjang bullying dapat menurunkan kecerdasan dan kemampuan analisis siswa yang menjadi korban, sehingga terjadi penurunan nilai-nilai akademik. Bahkan, dapat enumbuhkan agresi, depresi tanap berat, dan sampai pada usaha bunuh diri.

Pelaku bullying berpotensi tumbuh sebagai pelaku kriminal dibanding yang tidak melakukan bullying. Tindakan ini juga masih menjadi masalah tersembunyi yang tidak disadari oleh para pendidik dan orang tua.

Apa itu school bulying ?

Menurut Ubaydillah, AN pada e-psikologi.com, akar kata bullying adalah bull (sapi jantan). Perilaku bullying merujuk pada kebiasaan sapi jantan yang suka mendengus untuk mengancam, menakuti-nakuti, atau memberi tanda kepada sapi lainnya tentang kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya. Bully merupakan perilaku ”to treat abusively” (memperlakukan secara tidak sopan) atau ”to affect by means of force or coercion” (mempengaruhi dengan paksaan dan kekuatan). [Kamus Marriem Webster]

Komnas Perlindungan Anak memberi definisi bullying sebagai kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi dimana ada hasrat untuk melukai atau manakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma / depresi dan tidak berdaya.

School bullying merupakan perilaku agresif kekuasaan terhadap siswa yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/kelompok siswa yang memiliki kekuasaan terhadap siswa lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.

Ini bukan tentang kemarahan, bukan konflik, ini tentang penghinaan dan perasaan tidak suka seseorang/kelompok siswa yang merasa kuat terhadap siswa yang dianggap lemah, tidak berharga, rendah atau tidak layak untuk dihormati, tanpa merasa empati, kasih sayang atau malu. Pelaku merasa mempunyai hak untuk menyakiti atau mengendalikan orang lain, suatu intoleransi terhadap perbedaan.

Bullying biasanya terjadi karena adanya kerjasama tiga pihak, dikenal dengan istilah ”tiga mata rantai penindasan”. Pertama, bullying terjadi karena ada pihak yang menindas. Kedua, ada penonton yang diam atau mendukung, entah karena takut atau karena merasa satu kelompok. Ketiga, ada pihak yang dianggap lemah dan menganggap dirinya sebagai pihak yang lemah (takut bilang sama guru atau orangtua, takut melawan, atau malah memberi permakluman).

Dengan kerjasama ketiga pihak itu, biasanya praktek bullying sangat sukses dilakukan oleh anak yang merasa punya power atau kekuatan. Bagaimana meminimaliasir school bullying ?

Bullying harus ditanggapi serius, simpatik, dan terpadu, karena korban bullying berada pada posisi yang tidak mungkin diharapkan untuk melawan atau mempertahankan diri, dan korban akan terus mengalaminya untuk waktu yang lama.

Bullying pada kasus siswa bukan sekadar tanggung jawab sekolah karena peristiwa itu bisa terjadi di luar sekolah, misalnya saat mereka berangkat/pulang sekolah. 
 
Dalam konteks sekolah, tentu tidak mudah menghilangkan bullying mengingat adanya faktor pubertas pada masa remaja, krisis identitas, terbentuknya peer group, faktor keluarga, sosial, dan lainnya.
Sehingga upaya yang bisa dilakukan adalah bagaimana meminimalisir terjadinya bullying. Kurikulum sekolah harus lebih berorientasi prososial, perilaku bullying umumnya kurangnya kerja sama dan kesetiakawanan diantara siswa.

Sekolah juga harus mempunyai mekanisme penyelesaian kasus bullying. Sistem skorsing kurang efektif dalam menghentikan kasus bullying, karena anak-anak tetap melakukan kekerasan di tempat lain.

Sanksi seperti skorsing atau dikeluarkan dari sekolah sebenarnya hanya salah satu solusi praktis terhadap kasus bullying yang terjadi di sekolah. Meskipun praktis, bukan berarti sebagai solusi terbaik, karena sesungguhnya akar kekerasan adalah budaya kekerasan itu sendiri. Ketika mereka masih melihat dan merasakan kekerasan, baik di lingkungan rumah, sekolah, maupun masyarakat, mereka tidak akan pernah dapat belajar mengenai perdamaian, toleransi, saling menolong, saling menghargai, dan kesetiakawanan sosial.

Sekolah harus menjadikan area sekolah sebagai zona aman, seperti yang diamanatkan dalam UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 54 tentang Perlindungan Anak, dimana UU tersebut “mewajibkan” sekolah memberikan perlindungan pada siswa dari tindak kekerasan yang dilakukan, baik oleh siswa lain, guru, pengelola sekolah, dan/atau lembaga pendidikan lainnya.

Sekolah harus mengembangkan model School Well-being, yakni sebuah keadaan sekolah yang memungkinkan setiap siswa memuaskan kebutuhan dasarnya, yang meliputi aspek having (pengembangan kondisi sekolah), loving (pengembangan hubungan sosial di sekolah), being (pengembangan aktualisasi diri ), dan health (pengembangan status kesehatan ).

So, tinggal bagaimana kemauan dan tekad kita sebagai orang tua, guru, masyarakat, dan pemerintah sebagai stakeholder pendidikan untuk bersama-sama mengambil sikap STOP SCHOOL BULLYING WUJUDKAN SCHOOL WELL-BEING.
Lebih baru Terlama

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter