Penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah sudah lebih dari 30 tahun. Disamping pencapaian positif, berupa keabsahan secara yuridis, penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah masih diliputi berbagai permasalahan. Prof. Buchori mengemukakan bahwa tenaga guru pembimbing belum mendapatkan tempat yang layak di kebanyakan sekolah. Bahkan di beberapa sekolah, guru pembimbing dijauhi siswanya karena dipandang sebagai ”polisi sekolah”. Tidak hanya siswa, guru mata pelajaran juga seringkali memiliki persepsi yang kurang baik pada guru pembimbing dan bidang bimbingan itu sendiri. Bahkan tidak jarang bimbingan dan konseling hanya merupakan komponen pelengkap yang memang harus ada di sekolah sebagai persyaratan administrasi.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa permasalahan tersebut selalu terjadi? Mengapa program BK yang dapat membantu siswa mengembangkan potensi yang dimilikinya ternyata tidak direspon positif oleh siswa. Mengapa siswa merasa bahwa program BK tidak berdampak positif pada diri siswa, dan mengapa program BK seperti itu tetap saja dilakukan berulang-ulang.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Aip Badrujaman di SMA Negeri 31 Jakarta dengan menggunakan metode penelitian model evaluasi CIPP (context, input, process, dan product) yang dikembangkan oleh stufflebeam, permasalahan di atas terjadi karena, (1) tujuan program bimbingan kelompok yang ditetapkan tidak sesuai dengan tugas perkembangan dan permasalahan siswa, (2) strategi yang kurang tepat, (3) materi, metode, serta media yang diberikan kepada siswa tidak sesuai dengan perencanaan program, (4) tidak adanya perbedaan antara tugas perkembangan dan tingkat permasalahan siswa pada awal semester dan akhir semester.
[Silahkan download makalah dari AIP BADRUJAMAN, M.Pd. Jurusan Bimbingan dan Konseling FIP UNJ selengkapnya disini]
Recent
Memuat...
Posting Komentar
Posting Komentar