Self-disclosure, atau membuka diri, merupakan usaha seseorang untuk memberikan informasi kepada orang lain, berupa diskriptif maupun evaluatif, melalui ekspresi verbal maupun nor verbal dalam komunikasi yang lebih pribadi, akrab, dan sensitif. Mengungkapkan reaksi atau tanggapan terhadap situasi yang sedang dihadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau yang berguna untuk memahami tanggapan tersebut di masa kini.
Keterampilan membuka diri merupakan salah satu bagian penting dalam proses konseling, sebagai dasar dalam membina hubungan akrab dan saling percaya antara konselor dengan konseli. Seringkali dalam sesi konseling, konseli merasa ragu untuk mengutarakan problem dirinya secara rinci. Ini sering terjadi karena konseli belum merasa aman dan nyaman dengan konselor. Keraguan konseli ini terjadi karena belum tumbuh kepercayaan terhadap konselor, sehingga berbagai macam perasaan yang dialaminya, seperti marah, sedih, ataupun malu menghambat konseli mengungkapkan sesuatu yang ia fikir dan rasakan atas sesuatu yang dialami. Oleh karena itu, keterbukaan diri konselor dapat menimbulkan efek yang positif terhadap konseli, menumbuhkan kepercayaan konseli terhadap konselor.
Keterampilan membuka diri merupakan keterampilan konselor dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan perasaan, pikiran, pengalaman kehidupan yang penting yang dimiliki atau diketahui oleh konselor selama sesi konseling. Pengalaman ini bukan sebatas pengalaman pribadi konselor, bisa juga pengalaman orang lain yang diketahui konselor, tetapi dengan tetap memegang teguh azas kerahasiaan, yakni merahasiakan identitas orang tersebut. Pengalaman yang disampaikan konselor harus relevan dengan masalah yang dibahas saat itu, dengan tujuan agar konseli dapat mengambil manfaat dari pengalaman tersebut.
Dengan keterbukaan diri konselor, maka proses konseling yang dijalani konseli dapat berlangsung secara efektif karena,
(1) dengan membuka diri, konselor dapat menciptakan hubungan yang hangat, akrab, dan saling percaya dengan konseli, yang dapat memberikan perasaan aman, nyaman, dan kepuasan psikologis bagi konseli. Ini modal utama dalam keberhasilan pelaksanaan konseling;
(2) konseli merasa bahwa, bukan hanya konseli saja yang memiliki permasalahan tersebut, orang lain pun memiliki masalah yang sama dan mampu mengatasinya. Ini akan memberikan penguatan kepada konseli, menumbuhkan kepercayaan diri pada konseli bahwa ia pun mampu dan dapat mengatasi masalah yang dihadapinya terebut. Hal ini dapat membuat konseli lebih terbuka dalam menggali permasalahannya, dan melaksanakan dengan kesungguhan hati solusi atau rencana tindakan yang dihasilkan dalam proses konseling.
Recent
Memuat...
Posting Komentar
Posting Komentar